hari ini Aji memasuki babak baru dalam kehidupannya. ia masuk SMA. tak seperti siswa lain yang memasuki tahap pendaftaran sekolah dengan penuh semangat, Aji memulainya dengan langkah tak lazim. ia mendaftar sekolah di luar kota. entah apa maksudnya. semenjak kematian Nasya, ia berubah menjadi pemurung. hari-harinya ia habiskan untuk membaca didalam kamar. seolah ia menemukan dunianya sendiri saat membaca buku. orang tuanya sempat khawatir dengan keadaannya. namun mereka tak dapat melakukan apa-apa atas diri anak bungsunya itu. seolah Aji ingin berlari dari bayangan Nasya. tapi uniknya, foto Nasya masih terpampang dalam bingkai mungil di sudut meja belajarnya.
pagi itu Aji datang ke kota sebelah untuk mendaftar sekolah. ia tak diantar orang tuanya, sebagaimana yang ia harapkan. ia ingin lakukan sendiri segala yang ia butuhkan. mulai memilih sekolah hingga tempat ia tinggal. ia kendarai motor yang baru orang tuanya belikan sebagai hadiah ulang tahun. ia kelilingi kota itu dengan teliti. ini adalah kali pertama ia injakkan kaki di bumi orang sebagai perantauan.
hingga akhirnya Aji putuskan untuk bersekolah di SMA Negeri 1 di kota itu..
ia lengkapi semua berkas untuk pendaftaran.
setelah selesai, ia tinggal menunggu pengumuman. dan kemudian pulang kerumah, karena jarak antara kota tempatnya mencari ilmu dan rumahnya tak begitu jauh. hanya dibutuhkan waktu sekitar 1 jam.
"gimana, Ji pendaftaran sekolahmu? sudah dapat?" suara perempuan setengah baya memecah keheningan kamar Aji.
"sudah, Ma. Aji daftar di SMA 1.." jawab Aji singkat
"syukurlah kalo begitu. kapan pengumumannya..?" lanjut sang ibu
"dua minggu lagi, Ma.."kata Aji sambil membolak balik majalah
sejurus kemudian ibunda Aji duduk disamping ranjang sambil membelai rambut anak bungsunya itu. memandanginya dengan penuh cinta, seolah ia tahu kondisi bathin anaknya itu. ia sadari kemauannya seperti itu karena sedih ditinggal mati Nasya, cinta pertamanya.
"turun yuk, Papa udah nunggu tuh. katanya mau ngajak kita makan malam diluar. tuh mbak Rima baru aja pulang dari kampus.." ucap ibunda Aji memecah keheningan
"mbak Rima datang, Ma? kapan? jawab Aji sembari meletakkan majalah disampingnya
"barusan aja. yuk turun.." ujar Mama sambil tersenyum
"iya Ma.. Aji gantti baju dulu ya, Ma" ucap Aji bersemangat
Rima adalah kakak kedua Aji. dia adalah satu-satunya orang yang mampu membangkitkan semangat Aji yang hilang semenjak kematian Nasya.
"mbak...." teriak Aji dari atas tangga
Rima yang mendengar suara adiknya itu langsung membuka tangan tanda ingin memeluk.
"mbak dengar kamu mendaftar di SMA satu ya..? wah hebat..." ujar Rima pada adiknya
"berarti mbak harus jauh dong kalau mau ketemu Aji...hehehehe" canda sang kakak yang cantik jelita itu
"iya mbak, Aji daftar disana. mudah-mudahan aja bisa masuk" jawab Aji yang masih memeluk kakaknya
"pasti bisa doong.. Aji kan hebat. mbak percaya Aji pasti masuk.." lanjut sang kakak
"yuk berangkat.." kata papa yang disambut senyum dua anaknya yang lagi kangen-kangenan
dan mereka pun memasuki mobil dan berangkat menuju restoran keluarga.
+
hari yang ditunggu pun datang.
hari ini adalah pengumuman penerimaan sekolah Aji. seluruh anggota keluarga tegang menunggu hasil.
kriiiiingggg.......
telepon rumah berdering keras. Rima bergegas mengangkat telepon itu. lalu sejurus kemudian menghampiri seluruh keluarga yang sedari tadi kumpul diruang tengah menunggu kabar dari Aji.
"alhamdulillah Pa, Ma... adik masuk" ucap Rima
"alhamdulillah......" ucap semua orang yang berada diruangan itu.
"adik sekarang dalam perjalanan pulang" lanjut Rima
"ya udah kamu bantu menata baju-baju adikmu. nanti malam kita berangkat untuk mengantar adikmu.." jawab Mama
++
pagi itu gerimis mengiringi masa pengenalan sekolah. Aji datang lebih awal dengan segala atribut yang menggelikan. ia berharap disekolah itu dapat lepas dari bayang-bayang kematian Nasya. ia ingin memulai sebuah hidup baru.
"hai..." sebuah tangan terjulur dihadapan Aji
"aku Santi..." suara itu menyunggingkan senyum mengenalkan diri
"Aji.." jawab Aji membalas uluran tangan itu dan memberikan senyuman juga.
"kamu dari SMP mana..?" lanjut Santi
"aku bukan dari sini. aku dari SMP bintang. kamu? timpal Aji
"wah, perantau dong..hahaha" tawa Santi renyah
"aku dari SMP satu sini. tinggal dimana?" lanjut Santi
"sementara di Pejaten. tapi ngga tahu lagi, soalnya disana terlalu berisik. aku sepertinya ngga betah disana" jawab Aji
"nanti siang aku bantu deh cari tempat kost yang enak. kebetulan aku tahu beberapa, siapa tahu kamu ada yang suka..." ucap Santi
"oke deh.." jawab Aji
lalu kedua siswa baru itu bergegas menuju kelas untuk menerima materi pengenalan sekolah dari OSIS.
+++
udara yang mendung mengiringi Aji dan Santi yang sedari tadi muter-muter mencari tempat kosnya yang baru. hingga pada satu tempat yang Aji rasa pas dengan keinginannya.
"San..makasih ya udah anter aku cari kost" kata Aji
"sama-sama... ngomong-ngomong perutku lapar nih. makan yuk" pinta Santi
"duh iya, maaf ya San. aku lupa ajak kamu makan..." ujar Aji sambil menepuk jidat tanda lupa
"ya udah yuk. tapi aku ngga tahu tempat makan yang enak.." lanjut Aji
"aku ada tempat enak buat makan.. ayo jalan" kata Santi menarik lengan Aji.
sesampainya ditempat makan itu, mereka mengambil tempat di sudut utara dimeja no 3. tempat makan lesehan itu cukup asri dengan suara gemericik air dari kolam ikan. mereka pun mulai mengobrol mengenai banyak hal. cukup akrab. seolah mereka telah saling kenal lama
obrolan Aji dan Santi terhenti oleh sebuah lagu yang muncul dari handphone Santi.
"iya sayang. ini aku lagi makan siang sama teman. bentar lagi aku pulang kok.." suara Santi menjawab orang ditelphone itu
"pacarku telphone..." kata Santi pada Aji
"hah...pacarmu ngga marah kamu jalan sama aku? tanya Aji
"santai aja. ntar aku kenalin ke kamu ya. dia orangnya sabar kok.." jawab Santi
"ok. tapi bener ya dia nggak marah, nggak enak aku jadinya.." sambung Aji
"iya Ajiiii..... udah yuk makan.." jawab Santi sambil melahap hidangan di depannya
sejurus kemudian Aji hendak membayar makanan. tiba-tiba saja matanya tertegun pada satu sosok perempuan yang menyapa Santi.
"Santi...."
suara itu........ bisik hati Aji
"hai.. darimana kamu? kata Santi
"ini baru belanja buat keperluan besok" kata teman Santi
"sama siapa kamu..? lanjut teman Santi
"oh iya, kenalin.. ini teman kita satu sekolah lho.." kata Santi
"Indah....." teman Santi menyodorkan tangan
Aji masih tertegun melihat sosok perempuan itu..
"woy...kayak lihat hantu aja.." kata Santi sambil menepuk Aji
"eh..sorry.. aku Aji, hehehehe" jawab Aji sambil menyambut tangan Indah
"udah jangan lama-lama jabat tangannya..." canda Santi
dalam perjalanan pulang ke tempat kostnya, Aji masih terheran-heran dengan sosok teman Santi tadi.. sepanjang perjalanan mengantar Santi ia hanya diam. pikirannya masih terpaku pada senyuman dan sorot mata perempuan itu.
++++
Aji merapihkan tempat kost barunya. semua barang dan baju ia keluarkan. ia dibantu Santi.
"ini siapa Ji..?" ucap Santi menunjukkan sebingkai foto.
"eh.....itu....." jawab Aji tergagap gagap
"nanti aku ceritakan, San..." jawab Aji
tak lama berselang, Aji mengajak Santi ke teras dan mengobrol.
"itu tadi siapa...? tanya Santi menelisik
"itu pacar pertamaku, San... namanya Nasya" jawab Aji
"tapi ia sudah meninggal..." lanjut Aji
"hah....?!!" jawab Santi terkejut
"tapi wajahnya........." lanjut Santi
"iya... aku sendiri tak tahu... aku sekolah kesini karena ingin melupakan Nasya, San" jawab Aji seolah mengerti maksud Santi
wajah Indah sangat mirip dengan Nasya. mirip sekali. hanya saja Indah orangnya sangat feminin, sementara Nasya tomboy......
"aku shock saat kamu kenalin aku pada Indah..." kata Aji
"sangat mirip, San..." lanjut Aji
Santi masih tertegun heran dengan penjelasan Aji.
"ya Tuhan... Aji...." Santi tak sanggup melanjutkan kata-katanya
"tolong kisah ini jangan sampai keluar. hanya kamu yang tahu ini. anggap aku tak pernah cerita tentang ini.." kata Aji sambil menatap Santi dalam-dalam
+++++
siang itu Aji memberanikan diri masuk ke kelas Indah. dengan segenap keberanian yang ia miliki, ia ajak gadis itu untuk makan siang di kantin sekolah. tapi reaksi yang didapat Aji sungguh diluar dugaan.
"kamu ngga lihat aku lagi sibuk..?" ketus Indah
"oh maaf..." jawab Aji
Aji pun berlalu.
"dia bukan Nasya. Nasya ngga sejahat itu..." bisik hati Aji
"Tuhan.... apa arti semua ini....." bisik hati Aji lagi
tiba-tiba sebuah tangan menepuk punggung Aji.
"maafin aku tadi ya.... aku ngga bermaksud kasar, tapi aku lagi banyak tugas" suara itu menjelaskan
"iya, ngga papa kok..." jawab Aji
perempuan tadi adalah Indah. sejak itu mereka berteman dekat. tapi bukan pacaran. Aji menutup erat kisah tentang Nasya dihadapan Indah. meskipun Aji perlahan mulai mencintai Indah, namun semua ia tutup sedemikian rapat, karena ia tak ingin Indah merasa bahwa rasa cintanya itu karena faktor kemiripan Indah dan Nasya.
hari berganti bulan. Aji merasa tak sanggup berada disekolah tersebut. setiap hari bayang-bayang Nasya mengikutinya lewat sosok Indah.
sementara Aji tak sanggup mengucapkan rasa cintanya karena alasan tidak ingin menyamakan Indah dengan Nasya, demikian juga Indah yang tak pernah memiliki kejelasan sikap meski ia tahu Aji memiliki rasa untuknya. Indah masih memegang prinsip bahwa pria lah yang harus memulai.
perbedaan-perbedaan itu yang membuat mereka tak pernah bersatu dalam ikatan cinta.
hingga akhirnya, Aji memutuskan untuk pulang dan bersekolah di kotanya.
++++++
5 tahun kemudian Aji kembali ke kota Indah. ia bermaksud mencari Indah. dengan berbekal informasi yang ia dapatkan dari Santi, ia bergerak menuju Pejaten.
hampir 3 jam ia berputar-putar.
akhirnya ia temukan rumah Indah..
rumahnya mungil dengan warung makan milik ibunya tepat didepan rumahnya.
setelah memarkir mobil miliknya, ia masuk warung tersebut.
"maaf Ibu, apa benar disini rumah Indah..?" tanya Aji
"oh benar, Nak..." jawab wanita paruh baya itu
"nduukkk, ada temanmu...." wanita itu memanggil anaknya
"siapa buk....? tanya Indah dari dalam rumah
"silahkan masuk, Nak.." kata wanita itu ramah
"iya bu, terima kasih.." Aji melangkah memasuki rumah Indah
setelah duduk diruang tamu, Aji melihat sekitar ruangan rumah Indah. disamping kiri ruang tamu terpampang sebuah nama. dari situ Aji tahu pemilik kamar itu.
"Aji....!! apa kabar..?" Indah menyapa dengan senyum khasnya
"baik, Ndah..." jawab Aji
"kamu sendiri gimana kabarnya..? lanjut Aji.
"baik... lama ya kita nggak ketemu. kamu tahu alamatku dari siapa? tanya Indah
"dari Santi.." jawab Aji
mereka pun berbincang tentang masa sewaktu SMA. juga berbincang soal kehidupan masing-masing. hampir setiap akhir pekan mereka bertemu untuk berbincang. atau sekedar keluar untuk menonton pertandingan bola basket.
tapi tetap saja, tak ada cinta bicara.....
Aji masih pasif dan menunggu Indah menyatakan perasaannya. demikian juga Indah, berharap Aji lah yang memulainya karena Aji adalah pria, sudah seharusnya yang menyatakan perasaannya..
sedemikian besar perasaan kedua sejoli itu. tapi tertutup oleh ego masing-masing...
hingga suatu ketika........
Aji dijodohkan dengan anak teman mamanya. bahkan tanggal pernikahan pun telah ditentukan.
Aji Shock....
Aji masih berharap Indahlah yang mendampinginya..... tapi Aji tak dapat berbuat apa-apa..... Indah tak pernah dengan jelas menyatakan perasaannya, sehingga Aji tak memiliki alasan kuat untuk menolak perjodohan itu.
suatu sore yang gerimis, Aji nekat menuju Pejaten menuju rumah Indah...
tapi sosok yang ia cari tidak ada. menurut penuturan ibu Indah, anaknya masih keluar.
Aji bermaksud untuk mencari kejelasan perasaan Indah..
disaat dalam perjalanan, tanpa sepengetahuan Aji, Indah menelepon ke rumah Aji. hal yang sama di dapat Indah. Aji tidak ada dirumah, karena Aji masih dalam perjalanan kerumah Indah.
Aji pulang dengan tangan hampa.
Indah yang ia harapkan menjadi alasan yang kuat untuk menolak perjodohan ini, justru menghilang. Aji terdiam dalam kekecewaannya. ia ingin marah. karena menurutnya, Indahlah yang dapat membahagiakannya.
jodoh ada di tangan Tuhan.
sehebat apapun manusia memiliki rencana, Tuhanlah yang menentukan hasil akhirnya.
Aji pun akhirnya menuruti acara perjodohannya. ia jalani hari-harinya dengan wanita yang telah dipilihkan oleh orang tuanya..
sejak saat itu, Aji tak pernah bertemu dengan Indah. dirumah tak pernah ada, hanphone Indah pun tak pernah aktif.
ia terima takdir ini apa adanya.
"berikan aku kekuatan untuk menjalani hidupku ini, Tuhan.... aku percaya, Kau telah pilihkan untukku yang terbaik... pintaku, berilah ia yang terbaik untuk hidupnya"
doa Aji di suatu malam yang sunyi tak berbintang.
air matanya seolah telah mengering.
dan Aji pun menutup doanya itu dengan sebuah ucapan yang tulus......
"jaga dia untukku, Tuhan...."
sekian
ini dunia imajinasiku | tertumpah dalam barisan aksara | jembatan mimpi dan realita... selamat membaca
Sabtu, 28 Januari 2012
Kamis, 26 Januari 2012
Aji dan Nasya
kicau burung pipit di pagi hari, memaksa aji untuk membuka matanya yang terasa berjuta ton menumpuk di pelupuk. dengan setengah merem dia raih handuk di tempat jemuran. perlahan dia masuki kamar mandi.
tak lama berselang, aroma semerbak muncul dari kamar. berbalut seragam warna biru dan putih, siswa smp itu langsung duduk di meja makan bersama kelima anggota keluarga yang lain.
setangkup roti bakar isi telur ceplok dan segelas susu disantapnya. setelah pamit pada kedua orang tua, tangannya pun menggamit tas dan menunggangi sepeda gunung warna hijau muda miliknya.
hanya butuh waktu 15 menit untuk aji sampai di smp gemintang tempatnya menuntut ilmu.
sesampainya di areal parkir, dia lihat dengan seksama deretan sepeda yang terparkir rapi. matanya kesana kemari mencari sebuah sepeda warna pink. sejenak kemudian matanya berbinar. sepeda warna pink telah terparkir dengan baik, yang berarti pemiliknya telah datang terlebih dahulu.
langsung saja dia berlari menuju lantai dua tempat sang pemilik sepeda warna pink. meskipun kelasnya terletak di bawah, tapi dia rela naik turun tangga setiap hari menuju kelas tersebut. maklum. aji kelas tiga, dan pemilik sepeda warna pink itu masih duduk di bangku kelas dua.
"ajii...!!"
sesosok suara yang tak asing ditelinganya menyembul dari balik punggung. "aji, udah sarapan?" tanya suara tersebut. "nasya bawa roti isi nih, aji mau?. dengan senyum manis aji mengangguk.
nasya adalah pemilik sepeda pink tadi. dia adalah pacar aji sekaligus cinta pertamanya.sudah hampir setahun mereka pacaran.
meskipun perutnya telah kenyang, namun aji tak ingin mengecewakan nasya. dia melahap roti isi tersebut dengan lahap. nasya pun hanya tersenyum dengan mata berbinar menyaksikan kekasihnya itu tampak sangat menikmati roti buatannya.
"ini kamu yang bikin sya?" tanya aji
"iya. aji suka?" jawab nasya.
aji hanya mengangguk, karena mulutnya penuh.
"aji, nanti malam sepulang les kita jalan-jalan yuk. katanya ada pasar malem di suralaya.." nasya merajuk
"mmm..gimana ya sya.." jawab aji menggoda
"ayo dong ji.. pliss" nasya menggamit lengan aji.
"ya udah, tapi janji ya ngga malem pulangnya.." jawab aji
"ok, nasya janji..nasya janjiii..." sambil memeluk lengan aji.
hati anak berambut ikal tersebut berbunga-bunga...
++
teeett.....
tanda bel pulang les meraung-raung...
dengan segera nasya mencari aji di kelasnya, untuk menagih janjinya. kebetulan mereka satu tempat les.
sang arjuna pun muncul. aji terbelalak melihat penampilan anggun nasya.
berdua mereka berjalan kaki menuju tempat pasar malem. kebetulan lokasinya berhadapan langsung dengan tempat lesnya. ditempat tersebut nasya menikmati berbagai wahana yang ada. tak lupa membeli gula-gula berbentuk balon yang seringan awan bernama arbanat kesukaannya.
setelah puas bermain. nasya mengajak aji duduk di tepian sungai yang terletak disamping tempat les yang telah sepi. sambil menikmati sisa gula-gula dan temaram rembulan mereka berbincang.
namun kali ini pertanyaan dan tingkah laku nasya benar-benar aneh. tak seperti biasanya.
nasya yang biasanya berdandan tomboy, kali ini tampak anggun dengan pakaian feminin yang dipilihnya. tapi yang lebih aneh adalah pertanyaan nasya pada aji sesaat sebelum mereka pulang.
"aji... kalau misalkan nasya pergi, aji sedih nggai?" tanya nasya
"kenapa kamu nanyanya begitu, sya? ada apa?" tanya aji
"ngga ada apa-apa kok. nasya pengen tahu aja. ayo jawab.." pinta nasya
"sekarang aji balik deh. nasya sedih ngga kalau aji pergi?" jawab aji
"kok ditanya balik tanya sih? ketus nasya
"karena jawabannya sama, sya.. aji gak mau kehilangan nasya. nasya juga kan" jawab aji
"emang kenapa sih? lanjut aji
nasya cuma tersenyum dan menyuapi aji dengan gula-gula..
"nasya cinta aji..." jawab nasya sambil memeluk aji.
"aji sayang nasya.." bisik aji ditelinga nasya.
++
seperti pagi sebelumnya. aji terbangun oleh kicau burung pipit.
setelah sarapan pagi dia pun bergegas ke sekolah.
tapi sesampainya di tempat parkir, sepeda pink tak tampak disana.
juga di kelas.
pulang pun tak tampak.
aji mengayuh sepeda gunungnya. bukan menuju rumahnya. tapi menuju rumah nasya.
alangkah terkejutnya aji mendapati berita dari pembantu nasya, bahwa gadis itu semalam pingsan dan sekarang dirawat di rumah sakit. ketika aji menanyakan perihal sebab pingsannya, pembantu itu hanya menggeleng tanda tak tahu.
langsung saja aji mengarahkan sepedanya menuju rumah sakit.
dengan peluh bercucuran aji menuju ruang perawatan nasya. hancur hatinya menyaksikan gadis pujaannya tergolek lemah dengan infus dan oksigen menempel disekujur tubuhnya.
"dia mengidap hemofili" ucap sang ayah.
"semalam dia mimisan dan darahnya tak mau berhenti sampai nasya pingsan" lanjut sang ayah menjawab pertanyaan aji.
tak lama kemudian suara nasya memanggil tanda siuman.
"aji...." ucapnya lirih
bergegas bocah remaja itu berlari menuju nasya.
"sya.. kamu kenapa?" ucap aji.
"aji.. nasya cinta aji.." ucap nasya lirih.
belum aji menjawab perkataan nasya, gadis tersebut kembali pingsan dengan hidung mengeluarkan darah segar. genggaman tangan nasya pun terlepas dari jemari aji.
segera sang ayah memanggil perawat. seluruh orang diruangan tersebut diminta keluar.
tak lama kemudian perawat tersebut keluar membawa berita terburuk yang mungkin di dapat oleh anak remaja seusia aji.
nasya meninggal dunia.
masih dengan pakaian seragam yang lusuh oleh keringat, aji berlari menuju bangsal nasya.
"nasya... kamu jahat!! kenapa kamu pergi ninggalin aji....??" tangis aji memeluk nasya yang telah tak bernyawa.
darah masih segar keluar dari hidung nasya membasahi baju aji. namun aji tak perduli. dunianya telah hancur saat itu.
"nasya......." tangis aji makin menjadi. namun tak ada yang dapat aji lakukan. bocah remaja itu pun akhirnya pingsan tak kuasa menahan kesedihan.
3 hari kemudian aji baru siuman.
segala upaya dilakukan orang tua aji untuk menghibur sang bocah. namun sia-sia. aji hanya menangis sambil memanggil nama nasya.
cinta pertamanya.
sejak saat itu, hampir setiap hari dia selalu sempatkan ke makam nasya.
nasya pergi dengan meninggalkan sebuah ucapan yang tak mungkin dapat aji lupakan seumur hidupnya.
"nasya cinta aji.."
sekian
Rabu, 25 Januari 2012
namaku Tasya....dan aku anak ayah
hiruk pikuk kampus mulai terasa sejak dini hari tadi. aku dan beberapa orang calon wisudawan lain berkutat didalam salon menunggu antrean. aku ingin istimewa hari ini. untuk sebuah alasan yang membuatku mampu bertahan hingga di titik ini.
2 jam sudah aku bolak balik majalah wanita ini. walaupun isinya sama sekali tak menarik, tapi terpaksa aku gamit untuk membantuku membunuh waktu. sejak dulu aku benci sekali majalah. terlalu sempurna dunia ini mereka gambarkan. padahal sesungguhnya dunia ini sangat kompleks dan kejam.
oh, iya..
namaku Tasya. aku anak kelima dari lima bersaudara. orang melihat bahwa bersekolah di Fakultas Kedokteran adalah sebuah wujud kesempurnaan seorang anak, tapi sesungguhnya hidupku jauh dari kata sempurna.
ibuku adalah seorang pengusaha yang sukses. sementara ayahku, sejak menikah dengan ibu, dilarang untuk bekerja olehnya.
seorang suami, kepala keluarga, tanpa pekerjaan sangat rentan untuk dilecehkan. setidaknya itulah yang aku tangkap dari perjalanan rumah tangga orang tuaku. setiap hari aku dijejali drama durhaka seorang isteri. ayahku seringkali dibentak dan disuruh-suruh layaknya seorang pembantu.
aku kadang kasihan melihat ayah.
pernah suatu ketika aku mengajak ayah lari ke rumah nenek saat ibu mengamuk. tapi ayah hanya tersenyum dan menyuruhku masuk ke kamar bersama saudaraku yang sudah lebih dulu sembunyi.
ahh.....
lelah rasanya batin ini. ayah terlalu sayang dengan kami. itu yang membuatnya tak mau meninggalkan kami selama ini.
bisa aku bayangkan betapa berat beban ayah..
tak pernah sekalipun ia tampakkan rasa lelah itu. tapi ketika aku melihat kerutan di kening, terlihat betapa beliau lebih tua dari usianya. itu sudah cukup untuk menggambarkan betapa dahsyat beban hatinya.
pernah aku menghukum ayah dengan menolak untuk belajar. nilai sekolahku hancur. aku berharap ayah marah padaku.
tapi ternyata tidak.. ayah justru memelukku dan membisikkan kata-kata bernada optimis.
"adek pasti bisa...ayah percaya"
mungkin karena kalimat itulah aku bisa masuk Fakultas Kedokteran. padahal dulunya aku sangat takut dengan darah, tapi tiap kali rasa takutku memuncak, kulihat foto ayah yang selalu terselip dibalik saku bajuku. dan semangat itu kembali membara.
"ini untuk ayah..."
itu yang selalu aku ucapkan dalam hati saat melihat foto beliau. karena aku tahu, ayah sangat ingin aku kuliah di Kedokteran. itu impian ayah.
awalnya aku merasa tertekan kuliah di jurusan ini. aku sendiri lebih suka untuk kuliah di manajemen. mungkin darah bisnis ibu yang mengalir di tubuhkulah yang membuatku berhasrat kuliah di jurusan itu. tapi lagi-lagi, rasa ingin membahagiakan ayah jauh lebih besar dari egoku.
tiap hari aku bergelut dengan organ tubuh manusia. membedah mayat. dan menghafal jutaan anonim anatomi tubuh. benar-benar berat. tapi aku senang, karena bisa melihat pancaran cahaya mata ayah yang kembali cerah tiap kali menjengukku di kampus.
setahun yang lalu ayah sakit keras. dan dirawat di rumah sakit. ingin rasanya aku yang menanganinya. tapi apa daya, aku belum mendapat lisensi untuk itu. aku hanya dapat melihat tubuh kurusnya tergolek lemah di bangsal.
oh Tuhan.....
tak lama berselang, ayah pergi meninggalkan kami untuk selamanya.
tampak jelas penyesalan yang luar biasa dari mata ibu. ayah pergi meninggalkan seutas kata maaf yang belum terucap dari bibir ibu.
saat itu, aku berniat mundur dari fakultas kedokteran. untuk apa aku terus berjuang, sementara beliau yang menjadi cahayaku telah berpulang sebelum aku sempat memperlihatkan ijazahku.
tapi aku tarik kembali niat itu saat mengingat semangat ayah yang selalu menggebu untuk menjadikanku seorang dokter. aku pun bertekad menyelesaikan study ini.
hingga akhirnya detik ini, aku diwisuda. ini pula alasanku untuk memasuki salon agar terlihat cantik saat menerima ijazah nanti. karena ijazah itu akan aku persembahkan untuk ayah saat membacakan pesan dan kesan wisuda mewakili wisudawan, karena aku adalah wisudawan terbaik.
tanpa terasa waktu terus berlalu dan malampun berganti pagi.
aku telah selesai berias.
ibu dan keempat kakakku telah menunggu di gerbang kampus. pelukan dan ucapan selamat meluncur dari bibir mereka. terasa betul aura kebanggaan mereka padaku. terutama ibu. beliau sampai menitikkan air mata melihatku memakai toga.
"ini untuk ayahmu, sayang..."
begitu beliau berucap yang aku jawab dengan anggukan.
aku berusaha membendung air mata, agar riasanku tidak rusak. agar ayah melihatku tampil cantik dari surga.
saat tiba giliranku membaca pesan dan kesan, aku berusaha tegar dan tersenyum pada semua undangan. tapi ketika tiba pada kalimat "untuk ayahku...." aku tak lagi dapat menguasai emosiku. seolah tercekat. suasanapun hening untuk sesaat. hingga aku berusaha menguasai emosiku dan melanjutkan kalimatku:
"untuk ayahku.... ini untukmu.. terima kasih telah menjadi pelita hidupku. hanya ini yang terbaik yang bisa Tasya persembahkan untuk ayah. semoga ayah bahagia di Surga"
ucapku sambil menengadahkan kepala, seolah aku sedang bertatap mata dan melihat ayah tersenyum padaku.
tepuk tangan yang membahana dari para undangan ditiap sudut ruangan menguatkanku untuk tersenyum kembali dan menatap masa depanku sebagai dokter.. dan setiap jengkal pengabdianku sebagai dokter nantinya akan aku persembahkan untuk ayah.
karena namaku Tasya.... dan aku anak ayah..
sekian
2 jam sudah aku bolak balik majalah wanita ini. walaupun isinya sama sekali tak menarik, tapi terpaksa aku gamit untuk membantuku membunuh waktu. sejak dulu aku benci sekali majalah. terlalu sempurna dunia ini mereka gambarkan. padahal sesungguhnya dunia ini sangat kompleks dan kejam.
oh, iya..
namaku Tasya. aku anak kelima dari lima bersaudara. orang melihat bahwa bersekolah di Fakultas Kedokteran adalah sebuah wujud kesempurnaan seorang anak, tapi sesungguhnya hidupku jauh dari kata sempurna.
ibuku adalah seorang pengusaha yang sukses. sementara ayahku, sejak menikah dengan ibu, dilarang untuk bekerja olehnya.
seorang suami, kepala keluarga, tanpa pekerjaan sangat rentan untuk dilecehkan. setidaknya itulah yang aku tangkap dari perjalanan rumah tangga orang tuaku. setiap hari aku dijejali drama durhaka seorang isteri. ayahku seringkali dibentak dan disuruh-suruh layaknya seorang pembantu.
aku kadang kasihan melihat ayah.
pernah suatu ketika aku mengajak ayah lari ke rumah nenek saat ibu mengamuk. tapi ayah hanya tersenyum dan menyuruhku masuk ke kamar bersama saudaraku yang sudah lebih dulu sembunyi.
ahh.....
lelah rasanya batin ini. ayah terlalu sayang dengan kami. itu yang membuatnya tak mau meninggalkan kami selama ini.
bisa aku bayangkan betapa berat beban ayah..
tak pernah sekalipun ia tampakkan rasa lelah itu. tapi ketika aku melihat kerutan di kening, terlihat betapa beliau lebih tua dari usianya. itu sudah cukup untuk menggambarkan betapa dahsyat beban hatinya.
pernah aku menghukum ayah dengan menolak untuk belajar. nilai sekolahku hancur. aku berharap ayah marah padaku.
tapi ternyata tidak.. ayah justru memelukku dan membisikkan kata-kata bernada optimis.
"adek pasti bisa...ayah percaya"
mungkin karena kalimat itulah aku bisa masuk Fakultas Kedokteran. padahal dulunya aku sangat takut dengan darah, tapi tiap kali rasa takutku memuncak, kulihat foto ayah yang selalu terselip dibalik saku bajuku. dan semangat itu kembali membara.
"ini untuk ayah..."
itu yang selalu aku ucapkan dalam hati saat melihat foto beliau. karena aku tahu, ayah sangat ingin aku kuliah di Kedokteran. itu impian ayah.
awalnya aku merasa tertekan kuliah di jurusan ini. aku sendiri lebih suka untuk kuliah di manajemen. mungkin darah bisnis ibu yang mengalir di tubuhkulah yang membuatku berhasrat kuliah di jurusan itu. tapi lagi-lagi, rasa ingin membahagiakan ayah jauh lebih besar dari egoku.
tiap hari aku bergelut dengan organ tubuh manusia. membedah mayat. dan menghafal jutaan anonim anatomi tubuh. benar-benar berat. tapi aku senang, karena bisa melihat pancaran cahaya mata ayah yang kembali cerah tiap kali menjengukku di kampus.
setahun yang lalu ayah sakit keras. dan dirawat di rumah sakit. ingin rasanya aku yang menanganinya. tapi apa daya, aku belum mendapat lisensi untuk itu. aku hanya dapat melihat tubuh kurusnya tergolek lemah di bangsal.
oh Tuhan.....
tak lama berselang, ayah pergi meninggalkan kami untuk selamanya.
tampak jelas penyesalan yang luar biasa dari mata ibu. ayah pergi meninggalkan seutas kata maaf yang belum terucap dari bibir ibu.
saat itu, aku berniat mundur dari fakultas kedokteran. untuk apa aku terus berjuang, sementara beliau yang menjadi cahayaku telah berpulang sebelum aku sempat memperlihatkan ijazahku.
tapi aku tarik kembali niat itu saat mengingat semangat ayah yang selalu menggebu untuk menjadikanku seorang dokter. aku pun bertekad menyelesaikan study ini.
hingga akhirnya detik ini, aku diwisuda. ini pula alasanku untuk memasuki salon agar terlihat cantik saat menerima ijazah nanti. karena ijazah itu akan aku persembahkan untuk ayah saat membacakan pesan dan kesan wisuda mewakili wisudawan, karena aku adalah wisudawan terbaik.
aku telah selesai berias.
ibu dan keempat kakakku telah menunggu di gerbang kampus. pelukan dan ucapan selamat meluncur dari bibir mereka. terasa betul aura kebanggaan mereka padaku. terutama ibu. beliau sampai menitikkan air mata melihatku memakai toga.
"ini untuk ayahmu, sayang..."
begitu beliau berucap yang aku jawab dengan anggukan.
aku berusaha membendung air mata, agar riasanku tidak rusak. agar ayah melihatku tampil cantik dari surga.
saat tiba giliranku membaca pesan dan kesan, aku berusaha tegar dan tersenyum pada semua undangan. tapi ketika tiba pada kalimat "untuk ayahku...." aku tak lagi dapat menguasai emosiku. seolah tercekat. suasanapun hening untuk sesaat. hingga aku berusaha menguasai emosiku dan melanjutkan kalimatku:
"untuk ayahku.... ini untukmu.. terima kasih telah menjadi pelita hidupku. hanya ini yang terbaik yang bisa Tasya persembahkan untuk ayah. semoga ayah bahagia di Surga"
ucapku sambil menengadahkan kepala, seolah aku sedang bertatap mata dan melihat ayah tersenyum padaku.
tepuk tangan yang membahana dari para undangan ditiap sudut ruangan menguatkanku untuk tersenyum kembali dan menatap masa depanku sebagai dokter.. dan setiap jengkal pengabdianku sebagai dokter nantinya akan aku persembahkan untuk ayah.
karena namaku Tasya.... dan aku anak ayah..
sekian
Selasa, 24 Januari 2012
Pohon Mangga
alkisah, disuatu zaman disebuah masa, tumbuhlah sebuah pohon mangga yang cukup rimbun lagi lebat buahnya. pohon itu jarang sekali didekati orang, karena mitos bodoh mengatakan bahwa pohon yang rimbun adalah tempat berkumpulnya setan. jadilah sang pohon kesepian. bertahun-tahun hidup tanpa seorang teman. meski buahnya sangat lebat.
suatu ketika datanglah sebuah keluarga ke desa tempat pohon itu berada. keluarga itu memiliki seorang anak lelaki yang cukup bandel. dia tak pernah peduli omongan orang tentang pohon mangga yang dianggap warga angker itu.
suatu hari di siang yang terik, bocah lelaki itu bermain dibawah pohon itu. melihat buahnya yang lebat, maka sang anak kecil itupun memanjatnya. menikmati buah-buah mangga yang telah masak.
"mmmm... manisnya mangga ini" seru sang anak
pohon mangga yang lagi tidur siang akhirnya terjaga oleh ulah anak kecil itu.
disapanya sang anak dengan hati berbunga-bunga. karena tak pernah ada orang yang mengajaknya bermain dan bercanda selama ini.
"hai bocah... namamu siapa?" kata sang mangga dengan suara agak serak..
sang bocah terkejut. setengah takut.
dia lihat sekitarnya. tak ada orang. dia pun beranikan diri menjawab:
"kamu siapa? kok tidak terlihat..?"
"aku pohon mangga yang sedang kau panjat.."
seketika itu sang anak terkaget-kaget. nyaris terlepas dari ranting yang dia pegang. beruntung pohon mangga segera meraih tangannya sehingga sang anak tak sampai terjatuh.
dari sinilah kisah persahabatan ini dimulai.
setiap hari bocah kecil itu bermain dengan pohon mangga. pohon mangga pun mulai tak kesepian lagi. hari-harinya ceria.
suatu ketika, sang bocah datang ke pohon mangga dengan wajah sedih. tak pernah pohon mangga melihat wajah sahabatnya sesedih itu..
"kamu kenapa murung seperti itu?" tanya mangga.
"aku sedih. aku ingin membeli mainan. tapi orang tuaku tak mempunyai uang..." jawab bocah itu.
"o begitu.. naiklah dan ambil buahku sebanyak-banyaknya. lalu jual ke pasar. maka kau akan puna uang untuk membeli mainan" sambung pohon mangga
anak kecil itu pun dengan bersemangat memanjat pohon mangga itu dan memetik buah mangga sebanyak-banyaknya. air mata pun berubah menjadi tawa.
melihat sahabatnya sumringah, hati pohon mangga pun ikut berbunga-bunga.
tetapi karena telah mendapatkan mainannya. anak kecil itu tak pernah lagi bermain ke pohon mangga.
setahun..
dua tahun...
tak terasa sang bocah kecil itu telah menjadi dewasa dan akhirnya menikah.
setelah menikah, barulah bocah itu kembali ke pohon mangga itu. lagi-lagi dengan wajah sedih.
"hai sahabat karibku, mengapa wajahmu bersedih gundah gulana?" tanya pohon mangga
"istriku ingin rumah, tapi aku tak punya cukup uang untuk membeli kayu" jawab sang bocah
"ambillah sebagian dahanku. jadikan kayu untuk membuatkan rumah bagi istrimu.." jawab pohon mangga tulus
bergegas bocah itu mangambil gergaji dan memotong dahan dahan yang cukup besar untuk dijadikan pintu dan kusen.
seperti biasa. setelah mendapat apa yang ia inginkan, bocah itu tak pernah lagi kembali.
setahun..
dua tahun...
bocah kecil itu kini mulai menjadi tua.
dia kembali ke pohon mangga itu dengan wajah sedih lagi..
"duhai sahabatku, lama kita tak bersua. kenapa kini kau datang lagi dengan wajah murung? ceritakanlah kepadaku.." sambut pohon mangga kepada sahabatnya yang telah menjadi tua itu.
"aku sudah tua dan lelah. aku ingin menikmati sisa umurku untuk berkeliling dunia. tapi aku tak memiliki perahu.." jawab bocah yang sekarang telah menua itu.
"ambillah batangku. itu cukup besar untuk kau jadikan perahu..." jawab sang pohon. lagi-lagi dengan tulus.
dan bocah itu pun bergegas mengambil gergaji untuk memotong tubuh sahabat karibnya itu.
dan seperti biasanya juga, ia menghilang lagi setelah mendapat apa yang dia inginkan.
setahun..
dua tahun...
hingga suatu senja yang hening, datanglah sahabatnya itu. dengan wajah yang seluruhnya keriput, dia datang lagi pada sahabatnya, pohon mangga.
seperti biasa, pohon itu menyapa dengan penuh ketulusan,
"sahabatku. kita sudah 60 tahun bersahabat. tapi kini aku sudah tak memiliki apa-apa lagi untuk kuberikan kepadamu. lihatlah aku yang kering dan layu ini.." kata pohon mangga sambil tersenyum.
"tidak sahabatku. aku tak akan memanjatmu lagi, karena aku sudah tidak mampu. atau memakan buahmu, karena aku tak lagi memiliki gigi. aku hanya ingin beristirahat. aku sudah lelah. izinkan aku tidur disini. disampingmu..." kata sang bocah.
dengan mata sembab, pohon itu berkata:"tidurlah diakar-akarku. akar pohon tua adalah tempat tebaik untuk beristirahat. tidurlah sahabatku. aku akan menjagamu..."
tapi sepertinya itu adalah percakapan terakhir kedua sahabat itu, karena ternyata sang bocah yang sudah tua itu tertidur sangat lelap dan tak pernah lagi terjaga. sang pohon mangga pun tak lama kemudian menutup mata, karena semua dahan dan rangtingnya telah diberikan pada sahabatnya. jadilah dua sahabat itu tak lagi terpisahkan. selamanya mereka bersatu.
tapi bukan di alam bumi. entah di alam apa akhirnya mereka dapat bersatu kembali dan bercanda lagi seperti sedia kala...
sekian.
"aku pohon mangga yang sedang kau panjat.."
seketika itu sang anak terkaget-kaget. nyaris terlepas dari ranting yang dia pegang. beruntung pohon mangga segera meraih tangannya sehingga sang anak tak sampai terjatuh.
dari sinilah kisah persahabatan ini dimulai.
setiap hari bocah kecil itu bermain dengan pohon mangga. pohon mangga pun mulai tak kesepian lagi. hari-harinya ceria.
suatu ketika, sang bocah datang ke pohon mangga dengan wajah sedih. tak pernah pohon mangga melihat wajah sahabatnya sesedih itu..
"kamu kenapa murung seperti itu?" tanya mangga.
"aku sedih. aku ingin membeli mainan. tapi orang tuaku tak mempunyai uang..." jawab bocah itu.
"o begitu.. naiklah dan ambil buahku sebanyak-banyaknya. lalu jual ke pasar. maka kau akan puna uang untuk membeli mainan" sambung pohon mangga
anak kecil itu pun dengan bersemangat memanjat pohon mangga itu dan memetik buah mangga sebanyak-banyaknya. air mata pun berubah menjadi tawa.
melihat sahabatnya sumringah, hati pohon mangga pun ikut berbunga-bunga.
tetapi karena telah mendapatkan mainannya. anak kecil itu tak pernah lagi bermain ke pohon mangga.
setahun..
dua tahun...
tak terasa sang bocah kecil itu telah menjadi dewasa dan akhirnya menikah.
setelah menikah, barulah bocah itu kembali ke pohon mangga itu. lagi-lagi dengan wajah sedih.
"hai sahabat karibku, mengapa wajahmu bersedih gundah gulana?" tanya pohon mangga
"istriku ingin rumah, tapi aku tak punya cukup uang untuk membeli kayu" jawab sang bocah
"ambillah sebagian dahanku. jadikan kayu untuk membuatkan rumah bagi istrimu.." jawab pohon mangga tulus
bergegas bocah itu mangambil gergaji dan memotong dahan dahan yang cukup besar untuk dijadikan pintu dan kusen.
seperti biasa. setelah mendapat apa yang ia inginkan, bocah itu tak pernah lagi kembali.
setahun..
dua tahun...
bocah kecil itu kini mulai menjadi tua.
dia kembali ke pohon mangga itu dengan wajah sedih lagi..
"duhai sahabatku, lama kita tak bersua. kenapa kini kau datang lagi dengan wajah murung? ceritakanlah kepadaku.." sambut pohon mangga kepada sahabatnya yang telah menjadi tua itu.
"aku sudah tua dan lelah. aku ingin menikmati sisa umurku untuk berkeliling dunia. tapi aku tak memiliki perahu.." jawab bocah yang sekarang telah menua itu.
"ambillah batangku. itu cukup besar untuk kau jadikan perahu..." jawab sang pohon. lagi-lagi dengan tulus.
dan bocah itu pun bergegas mengambil gergaji untuk memotong tubuh sahabat karibnya itu.
dan seperti biasanya juga, ia menghilang lagi setelah mendapat apa yang dia inginkan.
setahun..
dua tahun...
hingga suatu senja yang hening, datanglah sahabatnya itu. dengan wajah yang seluruhnya keriput, dia datang lagi pada sahabatnya, pohon mangga.
seperti biasa, pohon itu menyapa dengan penuh ketulusan,
"sahabatku. kita sudah 60 tahun bersahabat. tapi kini aku sudah tak memiliki apa-apa lagi untuk kuberikan kepadamu. lihatlah aku yang kering dan layu ini.." kata pohon mangga sambil tersenyum.
"tidak sahabatku. aku tak akan memanjatmu lagi, karena aku sudah tidak mampu. atau memakan buahmu, karena aku tak lagi memiliki gigi. aku hanya ingin beristirahat. aku sudah lelah. izinkan aku tidur disini. disampingmu..." kata sang bocah.
dengan mata sembab, pohon itu berkata:"tidurlah diakar-akarku. akar pohon tua adalah tempat tebaik untuk beristirahat. tidurlah sahabatku. aku akan menjagamu..."
tapi sepertinya itu adalah percakapan terakhir kedua sahabat itu, karena ternyata sang bocah yang sudah tua itu tertidur sangat lelap dan tak pernah lagi terjaga. sang pohon mangga pun tak lama kemudian menutup mata, karena semua dahan dan rangtingnya telah diberikan pada sahabatnya. jadilah dua sahabat itu tak lagi terpisahkan. selamanya mereka bersatu.
tapi bukan di alam bumi. entah di alam apa akhirnya mereka dapat bersatu kembali dan bercanda lagi seperti sedia kala...
sekian.
Rasanya Baru Kemarin
Pagi itu, seperti biasa, selepas sholat shubuh di masjid kami sekeluarga langsung beraktifitas. Aku sebagai anak tertua, terbiasa bergelut dengan urusan dapur. Sementara bapak dan adik menuju sawah. Oh iya, namaku Surti. Aku adalah sulung dari 4 bersaudara. Kedua adik perempuanku sudah menikah dan tak lagi tinggal serumah dengan kami. Tinggal kami bertiga. Aku, bapak dan adik laki-laki satu-satunya, anto. Ibu sudah meninggal tepat saat tangis anto memecah keheningan subuh. Jadi aku secara otomatis mengambil alih tugas ibu, karena akulah putri tertua. Jarak usiaku dengan anto sangat jauh, 14 tahun.
Sehari-hari, kami selalu ceria. Meskipun kami hidup dengan segala keterbatasan. Bapak adalah orang yang sangat bijaksana. Tenang. Berwibawa. Dia tidak pernah sekalipun menanyakan atau menyinggung masalah pernikahan padaku. Meski usiaku sudah menginjak kepala 3. aku masih melajang, bukan karena tak ada pemuda yang tertarik padaku. Beberapa kali aku menolak lamaran pemuda dari kampung sebelah. Alasannya simpel. Adikku, anto. Sulit bagiku meninggalkan dia dan bapak sendirian dirumah. Karena bila aku menikah, pasti aku akan diajak keluar oleh suamiku dan tinggal terpisah.
Tidak. Aku tidak bisa melakukan itu.
Bagiku, kehidupan ini sudah aku wakafkan pada keluargaku sepeninggal ibu.
Matahari beranjak tinggi. Tak lama lagi anto dan bapak pasti pulang. Anto pasti langsung merengek minta sarapan. Dia sangat manja padaku. Yaa... wajar, aku yang merawatnya sejak masih merah. Dia pun sepertinya adalah kesayangan bapak, karena dia adalah satu-satunya anak laki-laki.
“mbak Sur..... maem” suara anto memanggil dari depan pintu. Tangannya masih belepotan lumpur.
Seperti biasa, aku ambilkan air hangat di baskom untuk membasuh tangannya. Kemudian mengambilkan nasi dan lauk, lalu menyuapinya.
Hmmm...benar-benar manja.
Anto sudah kelas 3 sma. Sebentar lagi ujian akhir. Nggak terasa. Padahal aku merasa baru kemarin tangan mungilnya memegang perutku saat aku bonceng naik sepeda menuju TK dihari pertamanya sekolah. Aku masih ingat betul saat itu tangannya mencengkeram erat keliman bajuku, karena takut. Meski dibujuk oleh gurunya, tapi dia tetap saja bergelayut di pinggangku sambil merengek minta pulang.
Sekarang dia sudah besar, ganteng lagi. Kulitnya putih bersih. Pasti nanti saat kuliah banyak mahasiswi yang tergila-gila padanya.
Tapi anto tetaplah anto.
Dia bersikeras ingin jadi dokter kandungan. Rupanya kematian ibu saat melahirkannya telah menjadi sebuah cambuk keras yang membuatnya bercita-cita menjadi dokter. Sejak SD hingga sekarang dia selalu menjadi juara kelas. Prestasinya bagus. Cita-cita itu pula yang membuatnya kurang tertarik dengan pergaulan zaman sekarang, apalagi pacaran.
Sepertinya hal itu tak pernah terbersit dikepalanya..
Hari berganti. Ujian akhir telah di lewati. Tibalah masa pendaftaran perkuliahan.
Jujur, itulah saat paling menakutkan bagiku. Semua orang tahu, anto bercita-cita menjadi dokter. Dan semua orang juga tahu, kami adalah orang miskin.
Sekolah saja karena mendapat beasiswa dari pak lurah, apalagi mau masuk kedokteran. Uanf dari mana, pikirku. Tak tega aku mengutarakannya pada anto. Tapi aku dan bapak tetap tidak bisa menolak keinginan anto. Malam itu aku dan bapak berbincang ringan di teras rumah.
“piye nduk, adikmu.... sepertinya dia mau kuliah di kedokteran. Ragate banyak. Dapat uang darimana, nduk?” kata bapak dengan suara parau.
“duko, pak... aku juga ndak tahu. Mas masan ku dijual pun sepertinya tidak cukup..” jawabku.
“opo sawah itu kita jual saja, Nduk?´sambung bapak
”jangan,Pak. Itu Pusoko dari mbah kung.. nanti kualat, Pak..” jawabku.
“terus piye, nduk?” suara bapak terdengar mulai putus asa.
“kita minta ke Gusti aja, pak. Insya Allah ada jalan....” aku mencoba menenangkan bapak.
Sejurus kemudian aku melangkah menuju kamar. Badanku terasa lelah semua. Tapi didalam kamar itu aku cuma terdiam. Tak bisa terpejam. Dan tak terasa, subuh pun menjelang.
Tak seperti biasanya, sehabis subuh anto tak ke ladang. Dia bergegas mengambil sepeda, entah menuju kemana.
Menjelang fajar terbit dia sudah datang.
“paakk..mbaakk... aku ketrimo ning kedokteran” teriak anto dari atas sepeda dan bergegas memelukku.
Aku hanya terdiam sambil memeluknya. Bingung. Uang dari mana?
Bapak pun terlihat tersenyum pasrah.
“pak, mbak, ora usah bingung biaya. Aku dapat beasiswa dari luar negeri. Biaya hidup dan kuliah sudah ditanggung mereka, sampai lulus..” terang anto.
Seketika itu aku dan bapak sujud syukur. Ini adalah berkat tak terduga yang kami terima.
Sebulan kemudian, anto berangkat menuju Jogja. Tempat dia menimba ilmu sebagai dokter. Aku dan bapak hanya mampu mengantarnya sampai terminal. Disana anto akan tinggal dimana pun kami tak tahu. Semua kami pasrahkan pada Tuhan.
3 hari kemudian anto berkirim surat. Meskipun sekarang adalah era digital dan komunikasi sangat mudah dilakukan, tapi bagi keluarga miskin seperti kami, komunikasi paling efektif adalah melalui surat. Dia menjelaskan, bahwa dia telah mendapat tempat tinggal. Hari pertamanya kuliah pun menyenangkan, katanya. Bertemu dengan mahasiswa dari seluruh Indonesia, bahkan luar negeri. Adikku memang luar biasa. Meski dari keluarga miskin, tapi dia tak minder. Berbekal kecerdasan dan kepandaiannya, dia selalu mudah mendapatkan teman. Dia orang yang supel.
Anto sangat rajin mengirim kabar. Dalam sebulan, dia bisa 3 kali berkirim surat pada kami. Dia ceritakan pengalaman-pengalaman baru yang dia dapatkan. Kami yang di desa hanya tersenyum dan mengucap syukur saat menerima dan membaca surat darinya, seraya berharap menerima surat lagi.
Kini hampir dua tahun dia menimba ilmu di Jogja. Dan anto pun sedikit demi sedikit mulai berubah. Dia mulai jarang mengirim surat. Sampai saat ini sudah 6 bulan dia tak kirim kabar. Bapak mulai gelisah.
“adikmu kenapa yo, Nduk kok ndak kirim surat lagi..?” tanya bapak lirih.
“mungkin lagi sibuk, Pak. Kuliah di kedokteran itu berat karena menyangkut nyawa orang..” jawabku
“iya nduk. Mudah-mudahan adikmu sehat..” lanjut bapak
“amin.. ayo pak masuk, sudah malam. Nanti bapak masuk angin lho” kataku pada bapak menenangkan.
Tepat 8 bulan adikku anto tak lagi mengirim kabar. Bapak sudah tak dapat menanggung rindu. Dia memintaku untuk menjual mas-masan untuk biaya perjalanan ke jogja. Tapi mau bagaimana, alamatnya di Jogja pun anto tak pernah memberi tahu. Kami selama ini hanya bisa berdo’a pada Tuhan, memohon agar bisa diperketemukan dengan Anto.
Rupanya Tuhan mendengar doa kami. Tapi dengan jawaban yang sama sekali tak kami harapkan.
Sore itu hujan turun membasahi desa kami. Sekitar jam setengah lima sore, serombongan orang berbadan tegap dengan memakai topeng dan bersenjata lengkap memasuki halaman rumah kami dengan cara yang tak lazim. Bapak gemetar ketika menyaksikan laras senjata itu mengarah didepannya. Aku yang masih tak mengerti tentang semua ini, maju untuk melindungi bapak. Dengan mengumpulkan segenap keberanian aku bertanya pada orang yang tak berpakaian hitam-hitam, sepertinya orang itu yang memberi perintah. Tapi jawaban yang saya terima sungguh mengejutkan. Serasa runtuh duniaku.
Adikku, Anto telah meninggal dunia.
Aku tak kuasa membendung air mata ini.
Dia tewas dalam sebuah penyergapan. Ternyata adikku adalah teroris, DPO atau apalah sebutan dari mereka. Aku masih tak percaya hal itu. Tak mungkin Anto yang cerdas dan supel mendapat predikat buruk itu.
Gusti...
Bagaimana aku akan menyampaikan hal ini pada bapak. Tak tega rasanya aku.
Rasanya baru kemarin sore tangan mungil Anto mendekap erat perutku saat kubonceng sepeda butut itu.
Rasanya baru kemarin aku mengantarnya sekolah TK.
Rasanya baru kemarin aku suapi dia tiap sarapan hingga tidur.
Rasanya baru kemarin...
Tapi semua seakan lenyap seketika..
Bahkan pengorbananku selama ini seolah tak berguna sama sekali, saat kutatap jasad adikku yang diwajahnya mulai ditumbuhi jenggot.
Wajahnya bersih. Tak tampak seraut kesakitan. Setidaknya itu yang sedikit menghibur hatiku. Dan itu adalah momen terakhirku menyaksikan wajah adikku sebelum dikuburkan.. ..esok pagi.
sekian
Cermin Retak
Lebaran tahun ini aku putuskan untuk mudik pada 2 hari pasca shalat Ied, karena badan terasa lelah dan penat untuk bertarung melawan pemudik lain dalam mendapatkan tiket kereta. Jadinya aku putuskan untuk naik travel saja dan aku mendapat kursi 2 hari setelah hari-H. tak apalah, yang penting rinduku pada ayah dan bunda dapat segera lepas dan tak lagi jadi penyumbat di hati.
Segala persiapan telah aku siapkan. 2 travel bag plus 1 carrier bag sudah tertata rapi di teras rumah kontrakanku. Sambil menunggu mobil travel datang, aku sulut sebatang rokok dan kuhisap dalam-dalam. Relax sekali rasanya. Aku sandarkan kepala dan kutatap kosong langit-langit. Tak lama kemudian sebuah mobil minibus bergambar candi datang membunyikan klakson. Ya, itu kendaraan travel yang akan membawaku ke Banyuwangi, rumah orang tuaku. Tak sabar rasanya untuk sejenak membebaskan diri dari kebisingan Ibukota dan menikmati sejuknya hawa desaku dan aroma ikan yang khas dari pinggiran Muncar.
Didalam mobil itu hanya berisi 4 orang. Sepi. Karena ini sudah lebaran hari kedua, bisa dibilang ini adalah kloter terakhir. Duduk disampingku seorang tua. Usianya sekitar 70-an. Tatapannya kosong dan sesekali dia melirikku dan kemudian menerawang. Kami saling diam. Aku larutkan telinga dan pikiran pada lagu-lagu yang terputar dari I-pod ku. Tak aku pedulikan sekelilingku. Mungkin aku mulai terkontaminasi kecuekan orang-orang Jakarta, yang sedikit tak perduli dan semau gue.
“mas..mas.. istirahat dulu. Makan dulu di restoran ini mas…” sopir kendaraan travel itu membangunkan ku saat telah sampai di check point Semarang.
Sambil sedikit mengulat, aku lepas headset dari telingaku. Aku lihat penumpang lain telah berada didalam restoran. Bergegas aku ambil charge BB dan Ipod dari dalam tasku. Aku ingin makan sambil mengisi ulang baterai kedua “sahabat” karib perjalanan itu yang dari tadi menghibur telinga dan pikiran ku tiada henti.
“mbak, aku mau charge, dimana ya?” tanyaku pada pelayan resto itu
“oh di ujung sebelah utara samping mushalla, pak..” jawab pelayan itu dengan ramah
“ok, terimaksih” timpalku singkat
Setelah mencari kesana kemari, akhirnya port untuk charge itu aku temukan juga. Sekalian aku tunaikan shalat ashar yang aku rangkai dengan dzuhur.
Seusai shalat, aku bermaksud mengambil jatah makan, tapi langkahku terhenti oleh panggilan orang tua yang duduk disampingku tadi.
“aden mudik kemana..?” tanyanya lirih dan suara setengah parau.
“anu pak, saya mau ke Banyuwangi.. bapak sendiri tujuan kemana?” jawabku sembari memberi pertanyaan basa basi.
“bapak mau ke Selorejo, Lumajang..” jawab bapak itu
“kok sendiri pak? Lanjutku sambil memasang sepatu.
“iya den, istri bapak sudah meninggal tahun lalu. Ini bapak mau nyekar ke makamnya dan makam anak bapak..” jawabnya dengan logat khas madura.
“aduuh, jangan panggil aden dong, pak. Nama saya Arif.. jadi anak dan isteri bapak sudah meninggal? Maafkan saya pak..” jawabku
“iya nak Arif, ngga apa-apa. Anak bapak kalau hidup mungkin seusia nak Arif..” kenang bapak itu sambil melihatku kagum
“anak bapak terkena hemofilia. Dia kecapekan, lalu mimisan dan darahnya tak mau berhenti hingga ia meninggal.. 5 tahun lalu” lanjut bapak itu
“dia mirip nak Arif. Kulitnya bersih, tinggi dan berambut ikal..” kenang pak tua itu sambil berkaca-kaca.
Sejurus kemudian orang tua itu mengeluarkan dompetnya dan menunjukkan foto anaknya bersama dia dan istrinya. Rupanya anaknya hanya satu itu. Dan benar saja.. wajahnya sangat mirip aku!!
“ya Tuhaan…..” aku terkejut dan tak sanggup melanjutkan kata-kata.
“dari tadi bapak perhatikan tingkah nak Arif, sangat mirip anak saya itu. Namanya Radit. Dari gaya bicara bak Arif, tidur hingga gaya berjalan pun mirip..” bapak itu melanjutkan cerita.
“alangkah beruntungnya orang tua nak Arif, memiliki anak setampan dan secerdas nak Arif.. berbaktilah pada mereka, karena mereka pasti sangat menyayangi dan merindukan nak Arif, seperti saya sangat merindukan Radit…” kata bapak tua itu.
Ohh alangkah buta mata hati ini. Saya pergi merantau ke Jakarta dulu, karena ingin membuktikan pada kedua orang tuaku bahwa aku bisa mandiri, sekalipun ayah dan ibu melarangku waktu itu. Betapa Tuhan membuka mata hatiku bahwa ada yang harus aku perjuangkan di dunia ini melebihi ego-ku sendiri, yaitu rasa hormat dan bakti pada orang tua yang telah membelaiku dari sejak dalam kandungan.
“bapak yang sabar ya… Allah tahu yang terbaik untuk hambanya..” ucapku menenangkan.
Seketika itu terbersit dipikiranku untuk resign dari pekerjaanku di Jakarta dan pulang kampung dan bekerja di kota kelahiranku saja. Meskipun aku telah memiliki kedudukan dan gaji yang lumayan, tapi tak ada artinya jika aku jauh dari orang tua dan membiarkan mereka setiap saat memendam rindu padaku. Setiap kali mereka telepon untuk mengetahui kabarku, kadang aku reject karena sedang rapat. atau menjenguknya saat ada agenda dinas ke kampung halamanku.
Sesaat kemudian aku meraih BB ku yang sedang di Charge dan menyusun surat elektronik perihal pengunduran diriku dari pekerjaanku. Aku akan membuka usaha di kotaku saja. Toh aku memiliki tabungan yang cukup untuk memulai segalanya dari awal.
Dan saat itu pula aku telepon orang tuaku..
“ayah, ibu…. Aku pulang, aku kangen…..”
sekian.
Segala persiapan telah aku siapkan. 2 travel bag plus 1 carrier bag sudah tertata rapi di teras rumah kontrakanku. Sambil menunggu mobil travel datang, aku sulut sebatang rokok dan kuhisap dalam-dalam. Relax sekali rasanya. Aku sandarkan kepala dan kutatap kosong langit-langit. Tak lama kemudian sebuah mobil minibus bergambar candi datang membunyikan klakson. Ya, itu kendaraan travel yang akan membawaku ke Banyuwangi, rumah orang tuaku. Tak sabar rasanya untuk sejenak membebaskan diri dari kebisingan Ibukota dan menikmati sejuknya hawa desaku dan aroma ikan yang khas dari pinggiran Muncar.
Didalam mobil itu hanya berisi 4 orang. Sepi. Karena ini sudah lebaran hari kedua, bisa dibilang ini adalah kloter terakhir. Duduk disampingku seorang tua. Usianya sekitar 70-an. Tatapannya kosong dan sesekali dia melirikku dan kemudian menerawang. Kami saling diam. Aku larutkan telinga dan pikiran pada lagu-lagu yang terputar dari I-pod ku. Tak aku pedulikan sekelilingku. Mungkin aku mulai terkontaminasi kecuekan orang-orang Jakarta, yang sedikit tak perduli dan semau gue.
“mas..mas.. istirahat dulu. Makan dulu di restoran ini mas…” sopir kendaraan travel itu membangunkan ku saat telah sampai di check point Semarang.
Sambil sedikit mengulat, aku lepas headset dari telingaku. Aku lihat penumpang lain telah berada didalam restoran. Bergegas aku ambil charge BB dan Ipod dari dalam tasku. Aku ingin makan sambil mengisi ulang baterai kedua “sahabat” karib perjalanan itu yang dari tadi menghibur telinga dan pikiran ku tiada henti.
“mbak, aku mau charge, dimana ya?” tanyaku pada pelayan resto itu
“oh di ujung sebelah utara samping mushalla, pak..” jawab pelayan itu dengan ramah
“ok, terimaksih” timpalku singkat
Setelah mencari kesana kemari, akhirnya port untuk charge itu aku temukan juga. Sekalian aku tunaikan shalat ashar yang aku rangkai dengan dzuhur.
Seusai shalat, aku bermaksud mengambil jatah makan, tapi langkahku terhenti oleh panggilan orang tua yang duduk disampingku tadi.
“aden mudik kemana..?” tanyanya lirih dan suara setengah parau.
“anu pak, saya mau ke Banyuwangi.. bapak sendiri tujuan kemana?” jawabku sembari memberi pertanyaan basa basi.
“bapak mau ke Selorejo, Lumajang..” jawab bapak itu
“kok sendiri pak? Lanjutku sambil memasang sepatu.
“iya den, istri bapak sudah meninggal tahun lalu. Ini bapak mau nyekar ke makamnya dan makam anak bapak..” jawabnya dengan logat khas madura.
“aduuh, jangan panggil aden dong, pak. Nama saya Arif.. jadi anak dan isteri bapak sudah meninggal? Maafkan saya pak..” jawabku
“iya nak Arif, ngga apa-apa. Anak bapak kalau hidup mungkin seusia nak Arif..” kenang bapak itu sambil melihatku kagum
“anak bapak terkena hemofilia. Dia kecapekan, lalu mimisan dan darahnya tak mau berhenti hingga ia meninggal.. 5 tahun lalu” lanjut bapak itu
“dia mirip nak Arif. Kulitnya bersih, tinggi dan berambut ikal..” kenang pak tua itu sambil berkaca-kaca.
Sejurus kemudian orang tua itu mengeluarkan dompetnya dan menunjukkan foto anaknya bersama dia dan istrinya. Rupanya anaknya hanya satu itu. Dan benar saja.. wajahnya sangat mirip aku!!
“ya Tuhaan…..” aku terkejut dan tak sanggup melanjutkan kata-kata.
“dari tadi bapak perhatikan tingkah nak Arif, sangat mirip anak saya itu. Namanya Radit. Dari gaya bicara bak Arif, tidur hingga gaya berjalan pun mirip..” bapak itu melanjutkan cerita.
“alangkah beruntungnya orang tua nak Arif, memiliki anak setampan dan secerdas nak Arif.. berbaktilah pada mereka, karena mereka pasti sangat menyayangi dan merindukan nak Arif, seperti saya sangat merindukan Radit…” kata bapak tua itu.
Ohh alangkah buta mata hati ini. Saya pergi merantau ke Jakarta dulu, karena ingin membuktikan pada kedua orang tuaku bahwa aku bisa mandiri, sekalipun ayah dan ibu melarangku waktu itu. Betapa Tuhan membuka mata hatiku bahwa ada yang harus aku perjuangkan di dunia ini melebihi ego-ku sendiri, yaitu rasa hormat dan bakti pada orang tua yang telah membelaiku dari sejak dalam kandungan.
“bapak yang sabar ya… Allah tahu yang terbaik untuk hambanya..” ucapku menenangkan.
Seketika itu terbersit dipikiranku untuk resign dari pekerjaanku di Jakarta dan pulang kampung dan bekerja di kota kelahiranku saja. Meskipun aku telah memiliki kedudukan dan gaji yang lumayan, tapi tak ada artinya jika aku jauh dari orang tua dan membiarkan mereka setiap saat memendam rindu padaku. Setiap kali mereka telepon untuk mengetahui kabarku, kadang aku reject karena sedang rapat. atau menjenguknya saat ada agenda dinas ke kampung halamanku.
Sesaat kemudian aku meraih BB ku yang sedang di Charge dan menyusun surat elektronik perihal pengunduran diriku dari pekerjaanku. Aku akan membuka usaha di kotaku saja. Toh aku memiliki tabungan yang cukup untuk memulai segalanya dari awal.
Dan saat itu pula aku telepon orang tuaku..
“ayah, ibu…. Aku pulang, aku kangen…..”
sekian.
Langganan:
Postingan (Atom)