Pagi itu, seperti biasa, selepas sholat shubuh di masjid kami sekeluarga langsung beraktifitas. Aku sebagai anak tertua, terbiasa bergelut dengan urusan dapur. Sementara bapak dan adik menuju sawah. Oh iya, namaku Surti. Aku adalah sulung dari 4 bersaudara. Kedua adik perempuanku sudah menikah dan tak lagi tinggal serumah dengan kami. Tinggal kami bertiga. Aku, bapak dan adik laki-laki satu-satunya, anto. Ibu sudah meninggal tepat saat tangis anto memecah keheningan subuh. Jadi aku secara otomatis mengambil alih tugas ibu, karena akulah putri tertua. Jarak usiaku dengan anto sangat jauh, 14 tahun.
Sehari-hari, kami selalu ceria. Meskipun kami hidup dengan segala keterbatasan. Bapak adalah orang yang sangat bijaksana. Tenang. Berwibawa. Dia tidak pernah sekalipun menanyakan atau menyinggung masalah pernikahan padaku. Meski usiaku sudah menginjak kepala 3. aku masih melajang, bukan karena tak ada pemuda yang tertarik padaku. Beberapa kali aku menolak lamaran pemuda dari kampung sebelah. Alasannya simpel. Adikku, anto. Sulit bagiku meninggalkan dia dan bapak sendirian dirumah. Karena bila aku menikah, pasti aku akan diajak keluar oleh suamiku dan tinggal terpisah.
Tidak. Aku tidak bisa melakukan itu.
Bagiku, kehidupan ini sudah aku wakafkan pada keluargaku sepeninggal ibu.
Matahari beranjak tinggi. Tak lama lagi anto dan bapak pasti pulang. Anto pasti langsung merengek minta sarapan. Dia sangat manja padaku. Yaa... wajar, aku yang merawatnya sejak masih merah. Dia pun sepertinya adalah kesayangan bapak, karena dia adalah satu-satunya anak laki-laki.
“mbak Sur..... maem” suara anto memanggil dari depan pintu. Tangannya masih belepotan lumpur.
Seperti biasa, aku ambilkan air hangat di baskom untuk membasuh tangannya. Kemudian mengambilkan nasi dan lauk, lalu menyuapinya.
Hmmm...benar-benar manja.
Anto sudah kelas 3 sma. Sebentar lagi ujian akhir. Nggak terasa. Padahal aku merasa baru kemarin tangan mungilnya memegang perutku saat aku bonceng naik sepeda menuju TK dihari pertamanya sekolah. Aku masih ingat betul saat itu tangannya mencengkeram erat keliman bajuku, karena takut. Meski dibujuk oleh gurunya, tapi dia tetap saja bergelayut di pinggangku sambil merengek minta pulang.
Sekarang dia sudah besar, ganteng lagi. Kulitnya putih bersih. Pasti nanti saat kuliah banyak mahasiswi yang tergila-gila padanya.
Tapi anto tetaplah anto.
Dia bersikeras ingin jadi dokter kandungan. Rupanya kematian ibu saat melahirkannya telah menjadi sebuah cambuk keras yang membuatnya bercita-cita menjadi dokter. Sejak SD hingga sekarang dia selalu menjadi juara kelas. Prestasinya bagus. Cita-cita itu pula yang membuatnya kurang tertarik dengan pergaulan zaman sekarang, apalagi pacaran.
Sepertinya hal itu tak pernah terbersit dikepalanya..
Hari berganti. Ujian akhir telah di lewati. Tibalah masa pendaftaran perkuliahan.
Jujur, itulah saat paling menakutkan bagiku. Semua orang tahu, anto bercita-cita menjadi dokter. Dan semua orang juga tahu, kami adalah orang miskin.
Sekolah saja karena mendapat beasiswa dari pak lurah, apalagi mau masuk kedokteran. Uanf dari mana, pikirku. Tak tega aku mengutarakannya pada anto. Tapi aku dan bapak tetap tidak bisa menolak keinginan anto. Malam itu aku dan bapak berbincang ringan di teras rumah.
“piye nduk, adikmu.... sepertinya dia mau kuliah di kedokteran. Ragate banyak. Dapat uang darimana, nduk?” kata bapak dengan suara parau.
“duko, pak... aku juga ndak tahu. Mas masan ku dijual pun sepertinya tidak cukup..” jawabku.
“opo sawah itu kita jual saja, Nduk?´sambung bapak
”jangan,Pak. Itu Pusoko dari mbah kung.. nanti kualat, Pak..” jawabku.
“terus piye, nduk?” suara bapak terdengar mulai putus asa.
“kita minta ke Gusti aja, pak. Insya Allah ada jalan....” aku mencoba menenangkan bapak.
Sejurus kemudian aku melangkah menuju kamar. Badanku terasa lelah semua. Tapi didalam kamar itu aku cuma terdiam. Tak bisa terpejam. Dan tak terasa, subuh pun menjelang.
Tak seperti biasanya, sehabis subuh anto tak ke ladang. Dia bergegas mengambil sepeda, entah menuju kemana.
Menjelang fajar terbit dia sudah datang.
“paakk..mbaakk... aku ketrimo ning kedokteran” teriak anto dari atas sepeda dan bergegas memelukku.
Aku hanya terdiam sambil memeluknya. Bingung. Uang dari mana?
Bapak pun terlihat tersenyum pasrah.
“pak, mbak, ora usah bingung biaya. Aku dapat beasiswa dari luar negeri. Biaya hidup dan kuliah sudah ditanggung mereka, sampai lulus..” terang anto.
Seketika itu aku dan bapak sujud syukur. Ini adalah berkat tak terduga yang kami terima.
Sebulan kemudian, anto berangkat menuju Jogja. Tempat dia menimba ilmu sebagai dokter. Aku dan bapak hanya mampu mengantarnya sampai terminal. Disana anto akan tinggal dimana pun kami tak tahu. Semua kami pasrahkan pada Tuhan.
3 hari kemudian anto berkirim surat. Meskipun sekarang adalah era digital dan komunikasi sangat mudah dilakukan, tapi bagi keluarga miskin seperti kami, komunikasi paling efektif adalah melalui surat. Dia menjelaskan, bahwa dia telah mendapat tempat tinggal. Hari pertamanya kuliah pun menyenangkan, katanya. Bertemu dengan mahasiswa dari seluruh Indonesia, bahkan luar negeri. Adikku memang luar biasa. Meski dari keluarga miskin, tapi dia tak minder. Berbekal kecerdasan dan kepandaiannya, dia selalu mudah mendapatkan teman. Dia orang yang supel.
Anto sangat rajin mengirim kabar. Dalam sebulan, dia bisa 3 kali berkirim surat pada kami. Dia ceritakan pengalaman-pengalaman baru yang dia dapatkan. Kami yang di desa hanya tersenyum dan mengucap syukur saat menerima dan membaca surat darinya, seraya berharap menerima surat lagi.
Kini hampir dua tahun dia menimba ilmu di Jogja. Dan anto pun sedikit demi sedikit mulai berubah. Dia mulai jarang mengirim surat. Sampai saat ini sudah 6 bulan dia tak kirim kabar. Bapak mulai gelisah.
“adikmu kenapa yo, Nduk kok ndak kirim surat lagi..?” tanya bapak lirih.
“mungkin lagi sibuk, Pak. Kuliah di kedokteran itu berat karena menyangkut nyawa orang..” jawabku
“iya nduk. Mudah-mudahan adikmu sehat..” lanjut bapak
“amin.. ayo pak masuk, sudah malam. Nanti bapak masuk angin lho” kataku pada bapak menenangkan.
Tepat 8 bulan adikku anto tak lagi mengirim kabar. Bapak sudah tak dapat menanggung rindu. Dia memintaku untuk menjual mas-masan untuk biaya perjalanan ke jogja. Tapi mau bagaimana, alamatnya di Jogja pun anto tak pernah memberi tahu. Kami selama ini hanya bisa berdo’a pada Tuhan, memohon agar bisa diperketemukan dengan Anto.
Rupanya Tuhan mendengar doa kami. Tapi dengan jawaban yang sama sekali tak kami harapkan.
Sore itu hujan turun membasahi desa kami. Sekitar jam setengah lima sore, serombongan orang berbadan tegap dengan memakai topeng dan bersenjata lengkap memasuki halaman rumah kami dengan cara yang tak lazim. Bapak gemetar ketika menyaksikan laras senjata itu mengarah didepannya. Aku yang masih tak mengerti tentang semua ini, maju untuk melindungi bapak. Dengan mengumpulkan segenap keberanian aku bertanya pada orang yang tak berpakaian hitam-hitam, sepertinya orang itu yang memberi perintah. Tapi jawaban yang saya terima sungguh mengejutkan. Serasa runtuh duniaku.
Adikku, Anto telah meninggal dunia.
Aku tak kuasa membendung air mata ini.
Dia tewas dalam sebuah penyergapan. Ternyata adikku adalah teroris, DPO atau apalah sebutan dari mereka. Aku masih tak percaya hal itu. Tak mungkin Anto yang cerdas dan supel mendapat predikat buruk itu.
Gusti...
Bagaimana aku akan menyampaikan hal ini pada bapak. Tak tega rasanya aku.
Rasanya baru kemarin sore tangan mungil Anto mendekap erat perutku saat kubonceng sepeda butut itu.
Rasanya baru kemarin aku mengantarnya sekolah TK.
Rasanya baru kemarin aku suapi dia tiap sarapan hingga tidur.
Rasanya baru kemarin...
Tapi semua seakan lenyap seketika..
Bahkan pengorbananku selama ini seolah tak berguna sama sekali, saat kutatap jasad adikku yang diwajahnya mulai ditumbuhi jenggot.
Wajahnya bersih. Tak tampak seraut kesakitan. Setidaknya itu yang sedikit menghibur hatiku. Dan itu adalah momen terakhirku menyaksikan wajah adikku sebelum dikuburkan.. ..esok pagi.
sekian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar