2 jam sudah aku bolak balik majalah wanita ini. walaupun isinya sama sekali tak menarik, tapi terpaksa aku gamit untuk membantuku membunuh waktu. sejak dulu aku benci sekali majalah. terlalu sempurna dunia ini mereka gambarkan. padahal sesungguhnya dunia ini sangat kompleks dan kejam.
oh, iya..
namaku Tasya. aku anak kelima dari lima bersaudara. orang melihat bahwa bersekolah di Fakultas Kedokteran adalah sebuah wujud kesempurnaan seorang anak, tapi sesungguhnya hidupku jauh dari kata sempurna.
ibuku adalah seorang pengusaha yang sukses. sementara ayahku, sejak menikah dengan ibu, dilarang untuk bekerja olehnya.
seorang suami, kepala keluarga, tanpa pekerjaan sangat rentan untuk dilecehkan. setidaknya itulah yang aku tangkap dari perjalanan rumah tangga orang tuaku. setiap hari aku dijejali drama durhaka seorang isteri. ayahku seringkali dibentak dan disuruh-suruh layaknya seorang pembantu.
aku kadang kasihan melihat ayah.
pernah suatu ketika aku mengajak ayah lari ke rumah nenek saat ibu mengamuk. tapi ayah hanya tersenyum dan menyuruhku masuk ke kamar bersama saudaraku yang sudah lebih dulu sembunyi.
ahh.....
lelah rasanya batin ini. ayah terlalu sayang dengan kami. itu yang membuatnya tak mau meninggalkan kami selama ini.
bisa aku bayangkan betapa berat beban ayah..
tak pernah sekalipun ia tampakkan rasa lelah itu. tapi ketika aku melihat kerutan di kening, terlihat betapa beliau lebih tua dari usianya. itu sudah cukup untuk menggambarkan betapa dahsyat beban hatinya.
pernah aku menghukum ayah dengan menolak untuk belajar. nilai sekolahku hancur. aku berharap ayah marah padaku.
tapi ternyata tidak.. ayah justru memelukku dan membisikkan kata-kata bernada optimis.
"adek pasti bisa...ayah percaya"
mungkin karena kalimat itulah aku bisa masuk Fakultas Kedokteran. padahal dulunya aku sangat takut dengan darah, tapi tiap kali rasa takutku memuncak, kulihat foto ayah yang selalu terselip dibalik saku bajuku. dan semangat itu kembali membara.
"ini untuk ayah..."
itu yang selalu aku ucapkan dalam hati saat melihat foto beliau. karena aku tahu, ayah sangat ingin aku kuliah di Kedokteran. itu impian ayah.
awalnya aku merasa tertekan kuliah di jurusan ini. aku sendiri lebih suka untuk kuliah di manajemen. mungkin darah bisnis ibu yang mengalir di tubuhkulah yang membuatku berhasrat kuliah di jurusan itu. tapi lagi-lagi, rasa ingin membahagiakan ayah jauh lebih besar dari egoku.
tiap hari aku bergelut dengan organ tubuh manusia. membedah mayat. dan menghafal jutaan anonim anatomi tubuh. benar-benar berat. tapi aku senang, karena bisa melihat pancaran cahaya mata ayah yang kembali cerah tiap kali menjengukku di kampus.
setahun yang lalu ayah sakit keras. dan dirawat di rumah sakit. ingin rasanya aku yang menanganinya. tapi apa daya, aku belum mendapat lisensi untuk itu. aku hanya dapat melihat tubuh kurusnya tergolek lemah di bangsal.
oh Tuhan.....
tak lama berselang, ayah pergi meninggalkan kami untuk selamanya.
tampak jelas penyesalan yang luar biasa dari mata ibu. ayah pergi meninggalkan seutas kata maaf yang belum terucap dari bibir ibu.
saat itu, aku berniat mundur dari fakultas kedokteran. untuk apa aku terus berjuang, sementara beliau yang menjadi cahayaku telah berpulang sebelum aku sempat memperlihatkan ijazahku.
tapi aku tarik kembali niat itu saat mengingat semangat ayah yang selalu menggebu untuk menjadikanku seorang dokter. aku pun bertekad menyelesaikan study ini.
hingga akhirnya detik ini, aku diwisuda. ini pula alasanku untuk memasuki salon agar terlihat cantik saat menerima ijazah nanti. karena ijazah itu akan aku persembahkan untuk ayah saat membacakan pesan dan kesan wisuda mewakili wisudawan, karena aku adalah wisudawan terbaik.
aku telah selesai berias.
ibu dan keempat kakakku telah menunggu di gerbang kampus. pelukan dan ucapan selamat meluncur dari bibir mereka. terasa betul aura kebanggaan mereka padaku. terutama ibu. beliau sampai menitikkan air mata melihatku memakai toga.
"ini untuk ayahmu, sayang..."
begitu beliau berucap yang aku jawab dengan anggukan.
aku berusaha membendung air mata, agar riasanku tidak rusak. agar ayah melihatku tampil cantik dari surga.
saat tiba giliranku membaca pesan dan kesan, aku berusaha tegar dan tersenyum pada semua undangan. tapi ketika tiba pada kalimat "untuk ayahku...." aku tak lagi dapat menguasai emosiku. seolah tercekat. suasanapun hening untuk sesaat. hingga aku berusaha menguasai emosiku dan melanjutkan kalimatku:
"untuk ayahku.... ini untukmu.. terima kasih telah menjadi pelita hidupku. hanya ini yang terbaik yang bisa Tasya persembahkan untuk ayah. semoga ayah bahagia di Surga"
ucapku sambil menengadahkan kepala, seolah aku sedang bertatap mata dan melihat ayah tersenyum padaku.
tepuk tangan yang membahana dari para undangan ditiap sudut ruangan menguatkanku untuk tersenyum kembali dan menatap masa depanku sebagai dokter.. dan setiap jengkal pengabdianku sebagai dokter nantinya akan aku persembahkan untuk ayah.
karena namaku Tasya.... dan aku anak ayah..
sekian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar