Alya berlari menuju mobilnya. dengan nafas yang kian tersengal, ia cari kunci di saku celananya. sejurus kemudian ia tarik keluar. sekumpulan uang kembalian rokok ikut berhambur bersama. Alya lirik kebawah sejenak, lalu bergegas masuk mobil tanpa memungut uang itu. tak lama kemudian ia telah dapati diri di pintu tol Cawang. antrean panjang dihadapan. jemarinya mengetuk ketuk pinggiran setir untuk membunuh bosan.
Alya menyulut rokok yang baru saja ia beli dari minimarket. ia hisap dalam-dalam kepulan asap dari batangan berwarna putih itu. bekas lipstik membekas jelas diujung filter rokok.
"God damn it!!" teriak Alya sambil membunyikan klakson.
sumpah serapah itu seolah hilang ditelan sunyi malam. hanya rembulan yang bulat dengan sinarnya yang redup coba mentertawainya. Alya, gadis 24 tahun itu selalu berharap dapat kembali kemasa lalu. tepatnya 18 tahun lalu saat usianya masih 6 tahun. saat ia pertama kali berkenalan dengan Brian, tetangga barunya saat itu.
Brian pula yang selama 17 tahun terakhir selalu menemaninya. dia, cinta pertama Alya.
tapi setahun terakhir ini, Brian hanya tinggal menghias sudut kelal memori Alya. Brian tewas saat menyelamatkannya dari terjangan motor saat melintas di jalan Otto Iskandar Dinata.
sejak itu Alya menipu diri dengan alkohol dan batangan rokok yang tak henti ia konsumsi.
akhirnya giliran mobil Alya menuju pengambilan tiket tol.
2 jam sudah ia habiskan waktu dijalanan. tanpa sadar, 6 batang rokok telah mendapat tanda bibir darinya. dan begitu sampai pada areal parkir apartemennya, ia sulut batangan rokok yang ke 7 untuk menemaninya masuk kedalam kamarnya.
3 handphone, laptop dan Ipod Alya pasangkan pada charger. lalu ia lemparkan badannya keatas kasur. headset Ipod ia pasang. seperti biasa, sebingkai foto ia raih dan kecup sebelum mata mengatup. ya, Brian.
tak lama kemudian ia terlelap dengan bingkai foto yang masih dipelukan.
angin bertiup kencang menerpa rambut dan tubuhnya. hawa dingin menyengat tulang membuat Alya seketika itu terjaga.
"ada apa ini..?" bisiknya dalam hati.
ia berjalan ke beranda dan menyulut rokoknya sekali lagi.
Jakarta masih ramai walau sudah dini hari.
"andai lo disini..." ucap Alya pada langit
Alya selalu saja berharap diberi kesempatan sekali saja untuk dapat kembali kemasa lalu. dia ingin rubah semuanya. ia tak ingin terbekap rasa seperti ini sepanjang hidupnya. tersiksa. buntu. mau maju tak dapat, mundur apalagi. semua seperti stagnan. sementara kenangan tak jua berkenan terbang dari ingatan.
Alya selalu ingat selalu Brian gendong saat pulang sekolah. membelikan Alya ice cream saat sedih. Brian terlalu sempurna bagi Alya. Brian begitu dewasa, bahkan diusianya yang masih remaja. ia jadi malaikat pelindung bagi Alya. kasih Brian selama 17 tahun terakhir itulah yang membuat Alya seperti mati dalam hidup.
Alya tak tahu harus berbuat apa tanpa Brian.
Alya tundukkan kepala. hening. menangis.
"Tuhan... kembalikan dia. atau bawa aku kemasa 17 tahun lalu" pinta Alya dalam tangisnya yang kian menderu.
entah apa yang akan Alya lakukan jika kesempatan itu benar-benar Tuhan beri padanya. ia sendiri tak tahu.
tapi belum pertanyaan itu terjawab, sebuah cahaya terang masuk kedalam kamarnya. sinar yang sangat menyilaukan matanya.
"Tuhan...Kau-kah itu?" tanya Alya
tak ada suara menjawab. seketika tubuh Alya pingsan dan terjatuh kelantai.
dalam pingsannya itu, Alya kembali kemasa kanak-kanak saat ia berkenalan dengan Brian. Alya bingung, rindu dan senang. ia peluk Brian.
"Briann....." teriak Alya sambil memeluknya
"kamu siapa..?" tanya Brian yang kebingungan dengan sikap Alya
"eh...maaf. namaku Alya" jawab Alya. Alya lupa jika ia kembali ke masa dimana ia baru bertemu dan berkenalan dengan tetangga barunya itu. semu` kembali. ia pun menjadi kanak-kanak usia 6 tahun.
seakan dipaksa untuk berpikir tentang apa yang akan ia lakukan setelah Tuhan mengabulkan keinginannya itu.
Alya tatap dalam-dalam mata bocah laki-laki yang kelak akan sangat ia cintai itu. penuh kerinduan. penuh cinta.
lalu Alya pulang kerumah dan menemui papinya.
"pi... belikan Alya rumah" seru Alya pada papinya
"hah.. untuk apa sayang?" tanya papinya
"pokoknya belikan. atau Alya berhenti sekolah?" jawab Alya
"oke..oke.. rumah yang mana?" tanya papi Alya
Alya yang anak tunggal dari seorang pengusaha kaya, tentu tak kesulitan untuk mendapatkan keinginannya itu.
"rumah yang itu" jawab Alya menunjuk rumah Brian
orang tua Brian yang hanya mengontrak disitu, akhirnya terpaksa dialihkan kesuatu daerah yang lebih bagus dengan kompensasi-kompensasi tertentu oleh orang tua Alya.
"selamat tinggal Brian......." bisik Alya kecil
seketika itu Alya terjaga. seperti mimpi. ia lihat sekitar kamar. bukan apartemennya.
"Alyaa...... ayo bangun! mau kerja jam berapa kamu...." suara mami Alya berteriak
"iya mi.... Alya bangun..." jawab Alya masih kebingungan. bagaimana bisa ia dapati tubuhnya berada dirumah, padahal saat pingsan ia berada dikamar apartemennya.
"mi... kunci apartemenku mana ya?" tanya Alya pada mami
"apartemen apa? ngga usah macem-macem, rumah segede ini mau diapain kok pengen apartemen." jawab mami
Alya rogoh saku mencari rokok yang semalam ia beli, tak ada. ia pun tak merasa kecut karena belum menghisap rokok. batinnya pun serasa tak ada lagi beban rindu atau sedih kehilangan yang selama ini membelenggunya. Alya merasa aneh. semua tentang Brian seolah hilang dari ingatan. pun tak ada jejak benda yang bawa kenangan antara ia dan Brian.
Alya senang tapi juga merasa hambar. benarkah Tuhan telah mengabulkan keinginannya selama ini?
"ayo sayaangg.... buruan dimakan trus bantu papi interview dikantor.." kata mami membuyarkan lamunan Alya
"iya mi.... ih, bawel" jawab Alya sembari mencium mami tercintanya
Alya bergegas masuk kedalam mobil menuju kantor. tak ada lagi makian keluar dari bibirnya. seolah ada kebiasaan baru yang tiba-tiba mengikatnya. ia sabar menunggu antrian tol. tak lagi main klakson ataupun kepulan berbatang-batang rokok dari bibirnya.
"selamat pagi, bu Alya.." sapa security menyapa Alya sembari membukakan pintu untuknya
"iya, pagi juga..:" jawab Alya ramah
Alya seolah sangat familiar dengan rutinitas ini. padahal sebelum ia jatuh pingsan saat ada cahaya yang membawanya kemasa kanak-kanak, Alya adalah seorang screen writer, bukan direktris perusahaan besar.
Alya masuk keruang kerjanya. bersiap melakukan interview dengan sejumlah calon karyawan.
"Ajeng, kita mulai saja interviewnya. tolong panggilkan peserta yang pertama" pintanya pada Ajeng sekretarisnya
"baik, Bu" jawab Ajeng sembari menutup telephone
Alya pun mulai membaca berkas-berkas yang disodorkan padanya oleh Ajeng. kemudian menginterview satu persatu calon karyawan sesuai dengan kompetensi yang mereka miliki.
tak terasa 55 calon karyawan telah Alya panggil satu persatu. tibalah pada calon yang terakhir. sambil memijit kedua sisi kepala, Alya mempersilahkan calon terakhir masuk keruangannya.
"selamat siang, Ibu.." sapa sang calon karyawan
Alya terkejut dengan suara itu. seperti tak asing ditelinganya. kemudian buru-buru dia buka berkas yang ada di pangkuannya.
Brian Astana, SH. muncul didalam Curriculum Vitaenya.
Alya tercekat. tak dapat bicara. lidahnya kelu. ada semacam memory yang membuatnya seolah dejavu.
"Brian...." Alya terbata menyebut nama itu
"nama kamu Brian..?" Alya masih terheran,heran
air mata Alya menetes. tapi segera ia berbalik dan memunggungi sang calon interview.
ternyata Brian hidup jika tak bersama Alya. keputusan Alya untuk membeli rumah yang dikontrak orang tua Brian dulu, ternyata berimbas tak ada hubungan antara Alya dan Brian. sehingga Brian masih hidup, karena tak harus menyelamatkan nyawa Alya dari kecelakaan maut.
"ya Tuhan.... apakah Brian memang Kau takdirkan untukku?" bisik Alya dalam hati
"meski aku telah Kau kembalikan kemasa lalu dan membuat perubahan, tetapi Kau masih pertemukan kami lagi...." Alya masih tercekat diam dalam doanya
"Ibu tak apa-apa..?" tanya Brian memecah keheningan ruangan
"iya......" jawab Alya
"apa kabar Brian.." tanya Alya pada Brian
"baik Ibu, terimakasih.." jawab Brian
"mohon maaf Ibu. boleh saya bertanya...?" pinta Brian
"silahkan.." jawab Alya
"entah ini hanya perasaan saya atau Ibu juga merasa yang sama, saya seperti telah lama mengenal Ibu, tapi tak tahu dimana.." kata Brian
"asal kau tahu sayang.... jika tak aku rubah kehidupan kita 17 tahun silam, saat ini aku tersiksa karena cintamu...." bisik Alya dalam hati
"ah... itu hanya perasaanmu saja, Brian. saya baru lihat kamu saat ini" jawab Alya
"maafkan saya, Ibu. mungkin Ibu benar" jawab Brian
dan tanya jawab pun berlangsung lancar. Alya berusaha menutupi semua perasaannya. tak seperti biasanya, selesai interview Alya langsung keluar kantor dan menimang tentang keberadaan Brian. ada 2 hal yang mengganggu pikirannya. jika Alya menerima Brian menjadi karyawan, bisa dipastikan ia tak dapat terlalu lama menyembunyikan perasaannya. dan jika itu terjadi, ia takut kehilangan Brian untuk kedua kalinya. tapi jika ia tak menerima Alya sebagai karyawan, maka Alya akan kehilangan Brian untuk selamanya. pilihan yang berat, karena sama-sama dihadapkan perasaan kehilangan. hanya masalah waktu, cepat atau lambat.
akhirnya, dengan berat hati, Alya menolak Brian.
lebih baik ia dengan kehidupan yang sekarang, toh rasa cinta itu telah terhapus dari hatinya, hanya sedikit memori yang ia miliki, sisa dari kejadian 2 malam yang lalu.
Alya pun berjalan menyusuri tepian pantai Anyer. ia biarkan desir bibir ombak menyentuh jemari kakinya. butiran pasir menyembul diantara jemari kakinya yang putih bersih. ia biarkan semua berlalu. Alya ikuti semua kehendak Tuhan dalam hidupnya. baginya, sejenak mengetahui rahasia waktu adalah sudah lebih dari cukup. ia pun mulai pahami, bahwa hidupnya akan terus berjalan di atas takdir Tuhan, dengan ataupun tanpa Brian..
secercah senyum Alya dapatkan kembali. ia bangkit. dan berlalu menuju mobilnya yang akan membawanya menatap mentari, esok pagi.
sekian