Selasa, 24 Januari 2012

Cermin Retak

Lebaran tahun ini aku putuskan untuk mudik pada 2 hari pasca shalat Ied, karena badan terasa lelah dan penat untuk bertarung melawan pemudik lain dalam mendapatkan tiket kereta. Jadinya aku putuskan untuk naik travel saja dan aku mendapat kursi 2 hari setelah hari-H. tak apalah, yang penting rinduku pada ayah dan bunda dapat segera lepas dan tak lagi jadi penyumbat di hati.


Segala persiapan telah aku siapkan. 2 travel bag plus 1 carrier bag sudah tertata rapi di teras rumah kontrakanku. Sambil menunggu mobil travel datang, aku sulut sebatang rokok dan kuhisap dalam-dalam. Relax sekali rasanya. Aku sandarkan kepala dan kutatap kosong langit-langit. Tak lama kemudian sebuah mobil minibus bergambar candi datang membunyikan klakson. Ya, itu kendaraan travel yang akan membawaku ke Banyuwangi, rumah orang tuaku. Tak sabar rasanya untuk sejenak membebaskan diri dari kebisingan Ibukota dan menikmati sejuknya hawa desaku dan aroma ikan yang khas dari pinggiran Muncar.



Didalam mobil itu hanya berisi 4 orang. Sepi. Karena ini sudah lebaran hari kedua, bisa dibilang ini adalah kloter terakhir. Duduk disampingku seorang tua. Usianya sekitar 70-an. Tatapannya kosong dan sesekali dia melirikku dan kemudian menerawang. Kami saling diam. Aku larutkan telinga dan pikiran pada lagu-lagu yang terputar dari I-pod ku. Tak aku pedulikan sekelilingku. Mungkin aku mulai terkontaminasi kecuekan orang-orang Jakarta, yang sedikit tak perduli dan semau gue.



“mas..mas.. istirahat dulu. Makan dulu di restoran ini mas…” sopir kendaraan travel itu membangunkan ku saat telah sampai di check point Semarang.



Sambil sedikit mengulat, aku lepas headset dari telingaku. Aku lihat penumpang lain telah berada didalam restoran. Bergegas aku ambil charge BB dan Ipod dari dalam tasku. Aku ingin makan sambil mengisi ulang baterai kedua “sahabat” karib perjalanan itu yang dari tadi menghibur telinga dan pikiran ku tiada henti.


“mbak, aku mau charge, dimana ya?” tanyaku pada pelayan resto itu


“oh di ujung sebelah utara samping mushalla, pak..” jawab pelayan itu dengan ramah


“ok, terimaksih” timpalku singkat



Setelah mencari kesana kemari, akhirnya port untuk charge itu aku temukan juga. Sekalian aku tunaikan shalat ashar yang aku rangkai dengan dzuhur.


Seusai shalat, aku bermaksud mengambil jatah makan, tapi langkahku terhenti oleh panggilan orang tua yang duduk disampingku tadi.


“aden mudik kemana..?” tanyanya lirih dan suara setengah parau.


“anu pak, saya mau ke Banyuwangi.. bapak sendiri tujuan kemana?” jawabku sembari memberi pertanyaan basa basi.


“bapak mau ke Selorejo, Lumajang..” jawab bapak itu


“kok sendiri pak? Lanjutku sambil memasang sepatu.


“iya den, istri bapak sudah meninggal tahun lalu. Ini bapak mau nyekar ke makamnya dan makam anak bapak..” jawabnya dengan logat khas madura.


“aduuh, jangan panggil aden dong, pak. Nama saya Arif.. jadi anak dan isteri bapak sudah meninggal? Maafkan saya pak..” jawabku


“iya nak Arif, ngga apa-apa. Anak bapak kalau hidup mungkin seusia nak Arif..” kenang bapak itu sambil melihatku kagum



“anak bapak terkena hemofilia. Dia kecapekan, lalu mimisan dan darahnya tak mau berhenti hingga ia meninggal.. 5 tahun lalu” lanjut bapak itu



“dia mirip nak Arif. Kulitnya bersih, tinggi dan berambut ikal..” kenang pak tua itu sambil berkaca-kaca.



Sejurus kemudian orang tua itu mengeluarkan dompetnya dan menunjukkan foto anaknya bersama dia dan istrinya. Rupanya anaknya hanya satu itu. Dan benar saja.. wajahnya sangat mirip aku!!



“ya Tuhaan…..” aku terkejut dan tak sanggup melanjutkan kata-kata.



“dari tadi bapak perhatikan tingkah nak Arif, sangat mirip anak saya itu. Namanya Radit. Dari gaya bicara bak Arif, tidur hingga gaya berjalan pun mirip..” bapak itu melanjutkan cerita.



“alangkah beruntungnya orang tua nak Arif, memiliki anak setampan dan secerdas nak Arif.. berbaktilah pada mereka, karena mereka pasti sangat menyayangi dan merindukan nak Arif, seperti saya sangat merindukan Radit…” kata bapak tua itu.


Ohh alangkah buta mata hati ini. Saya pergi merantau ke Jakarta dulu, karena ingin membuktikan pada kedua orang tuaku bahwa aku bisa mandiri, sekalipun ayah dan ibu melarangku waktu itu. Betapa Tuhan membuka mata hatiku bahwa ada yang harus aku perjuangkan di dunia ini melebihi ego-ku sendiri, yaitu rasa hormat dan bakti pada orang tua yang telah membelaiku dari sejak dalam kandungan.


“bapak yang sabar ya… Allah tahu yang terbaik untuk hambanya..” ucapku menenangkan.

Seketika itu terbersit dipikiranku untuk resign dari pekerjaanku di Jakarta dan pulang kampung dan bekerja di kota kelahiranku saja. Meskipun aku telah memiliki kedudukan dan gaji yang lumayan, tapi tak ada artinya jika aku jauh dari orang tua dan membiarkan mereka setiap saat memendam rindu padaku. Setiap kali mereka telepon untuk mengetahui kabarku, kadang aku reject karena sedang rapat. atau menjenguknya saat ada agenda dinas ke kampung halamanku.


Sesaat kemudian aku meraih BB ku yang sedang di Charge dan menyusun surat elektronik perihal pengunduran diriku dari pekerjaanku. Aku akan membuka usaha di kotaku saja. Toh aku memiliki tabungan yang cukup untuk memulai segalanya dari awal.


Dan saat itu pula aku telepon orang tuaku..




“ayah, ibu…. Aku pulang, aku kangen…..”





sekian.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar